Om Swastyastu, Ngiring Melajah NgeBlogg Pang Sing Belog

SUPUTRA MENURUT WEDA


SUPUTRA MENURUT WEDA

Keterpurukan bangsa saat ini yang diakibatkan oleh berbagai krisis (multi-dimensional). Bila kita kaji secara cermat, akar dari berbagai krisis itu, tidak lain adalah krisis moralitas, yang berdampak buruk terhadap berbagai kehidupan individu, masyarakat, bangsa dan negara. Indonesia yang dikenal dengan bangsa yang memiliki penganut agama yang sangat besar jumlahnya, mestinya, ajaran agama mampu menjadi pegangan bagi pemeluknya. Timbul berbagai pertanyaan, apakah hal ini disebabkan oleh karena metodologi pendidikan agama yang keliru, atau agama diajarkan hanya bersifat formal dan verbal, belum mengubah prilaku pemeluknya. Berbagai hal tentunya dapat dijadikan dan bahkan dikambing-hitamkan, namun, apapun yang kita alami dewasa ini merupakan suatu proses pembelajaran dalam kehidupan kita sebagai individu, anggota masyarakat, bangsa dan negara. Segala kekurangan dan kekeliruan, sebagai insan yang peduli terhadap hal-hal tersebut, patut berupaya untuk mencari jalan keluar guna mengantisipasinya.

Semiloka Nasional Reformulasi Pendidikan Agama Hindu pada masyarakat majemuk Indonesia yang diselenggarakan saat ini bertujuan untuk mengangkat berbagai pandangan dan pemikiran tentang metodologi pendidikan agama Hindu yang pada akhirnya akan dapat diciptakan sistem pendidikan agama Hindu yang komprehensif dalam rangka Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Mengingat umat Hindu Indonesia yang majemuk, terdiri dari berbagai etnis, maka topik makalah tentang Filosofi Pendidikan Hindu menurut Veda,  konsep dan kemungkinan implementasinya di Indonesia diharapkan dapat dijadikan bahan acuan untuk dipertimbangkan, mengingat ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda sangat universal dan dapat berlaku sepanjang masa. Untuk itu beberapa hal akan dibahas dalam tulisan ini, antara lain: anak sebagai  pusat  perhatian  dan  kegiatan pendidikan, “úarìra saýskàra”(upacara penyucian diri),  peranan  pengaruh lingkungan,  kehidupan  yang  berdisiplin  sebagai  Brahmacàri,

peranan Guru atau Àcàrya, kurikulum dan filsafat pendidikan yang menjadi landasannya. 
Dari uraian tersebut, akan diketengahkan hal-hal yang perlu dan kiranya dapat diterapkan di Indonesia.

Anak sebagai pusat perhatian dan kegiatan pendidikan

Kata anak dalam bahasa Sanskerta adalah “putra” Kata “putra” pada mulanya berarti kecil atau yang disayang, kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga: “Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu ia disebut Putra” (Manavadharmaúàstra IX.138). Penjelasan yang sama juga dapat kita jumpai dalam Àdiparva Mahàbhàrata 74,27, juga dinyatakan sama dalam Vàlmìki Ràmàyaóa II,107-112. Putra yang mulia disebut “putra-suputra”. Kelahiran “putra suputra” ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan maupun dalam pendidikan Hindu.. Kata yang lain untuk putra adalah: “sùnu, àtmaja, àtmasaýbhava, nandana, kumàra dan  saýtàna”. Kata yang terakhir ini di Bali menjadi kata “sentana” yang berarti keturunan. “Seseorang dapat menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan  yang  abadi  dengan  kelahiran  cucu- cucunya”    (Àdiparva,74,38).

Pandangan susastra Hindu ini mendukung betapa pentingnya setiap keluarga memiliki anak. Tambahan pula Àdiparva, Mahàbhàrata memandang dari sudut yang berbeda tentang kelahiran anak ini. “Disebutkan bahwa seorang anak merupakan pengikat talikasih yang sangat kuat di dalam keluarga, ia merupakan pusat menyatunya cinta kasih orang tua. Apakah yang melebihi cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya, mengejar  mereka, memangkunya, merangkul tubuhnya yang berdebu dan kotor (karena bermain-main). Demikian pula bau yang lembut dari bubuk cendana, atau sentuhan lembut tangan wanita atau sejuknya air, tidaklah demikian menyenangkan seperti halnya sentuhan bayi sendiri, memeluk dia erat-erat. Sungguh tidak ada di dunia ini yang demikian membahagiakan kecuali seorang anak”(74,52,55,57).”Seseorang yang memperoleh anak, yang merupakan anaknya sendiri, tetapi tidak memelihara anaknya dengan baik, tidak mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi. Para leluhur menyatakan seorang anak melanjutkan keturunan dan mendukung persahabatan, oleh karena itu melahirkan anak adalah yang terbaik dari segala jenis perbuatan mulia(74,61-63). Lebih jauh maharsi Manu menyatakan pandangannya bahwa dengan lahirnya seorang anak, seseorang akan memperoleh kebahagiaan abadi, bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa” (II.28).

Berdasarkan keterangan tersebut di atas maka pendidikan, utamanya pendidikan moral dan budi pekerti sangat penting ditanamkan bagi seorang anak. Tentang pendidikan ini, kitab suci Veda menyatakan: “Saudara laki-laki seharusnya tidak irihati terhadap kakak dan adik-adiknya laki-laki dan perempuan dan melakukan tugas-tugas yang sama yang dibebankan kepadanya. Hendaknya berbicara mesra di antara mereka”(Atharvaveda: III,30.3). “Putra dan orang tuanya yang saleh, gagah berani dan bercahaya bagaikan api menyinari bumi dengan perbuatan - perbuatannya yang mulia” (Rgveda I.160.3).  ”Ya Tuhan Yang Maha Esa, anugrahkanlah kepada kami seorang putra yang gagah berani, giat bekerja, cerdas, mampu memeras Soma (tekun berbakti)dan memiliki keimanan yang mantap lahir pada keluarga kami”(Rgveda III.4.9).“Ya Tuhan Yang Maha Esa, semogalah kami memperoleh putra dengan kulitnya yang kuning langsat, yang tampan, panjang umurnya, patuh kepada orang tua dan gurunya, berani dan saleh” (Ågveda II.3.9). “Wahai anak, datang dan berdirilah di atas batu ini. Kuatkanlah badanmu seperti batu ini”(Atharvaveda II.13.4). “Sesungguhnya anak laki-laki dari putra seorang ayah yang masyhur akan menjadi mulia”(Atharvaveda XX.128.3). Terjemahan mantra Veda yang terakhir ini adalah logis, bila orang tuanya memiliki nama yang harum, maka putranya memperoleh teladan yang baik menjadikan mereka mulia.

Tentang anak yang “Suputra”, Maharsi Càóakya dalam bukunya Nìtiúàstra menyatakan: “Seluruh hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang Suputra” (II.16). “Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai teman”(II.18). Demikianlah idealnya, setiap keluarga mendambakan anak idaman, berbudi pekerti luhur, cerdas, tampan, sehat jasmani dan rohani dan senantiasa memberikan kebahagiaan kepada orang tua dan masyarakat lingkungannya. Sebaliknya tidak semua orang beruntung mempunyai anak yang “suputra”. “Di dalam menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan seseorang memperoleh kedamaian, yaitu : anak, istri dan pergaulan dengan orang-orang suci”(IV.10). Kenyataannya kita menjumpai beberapa anak yang durhaka kepada orang tua, jahat dan melakukan perbuatan dosa yang menjerumuskan dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya ke dalam penderitaan. Anak yang demikian disebut anak yang “kuputra” (bertentangan dengan suputra).

Tentang anak yang Kuputra ini, maharsi Càóakya menyatakan ”Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula seorang anak yang kuputra, menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga” (II.15). “Apa gunanya melahirkan anak begitu banyak, kalau mereka hanya mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan. Walaupun ia seorang anak, tetapi ia berkeperibadian yang luhur (suputra) membantu keluarga. Satu anak yang meringankan keluarga inilah yang paling baik”(II.17). “Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani,insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat”.( III.16). Hal yang sama diulangi kembali dalam Nìtiúàstra IV.6. yang antara lain menyatakan: “Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik”. “Lebih baik mempunyai anak begitu lahir langsung mati dibanding mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh. Karena anak yang begitu lahir langsung mati memberikan kesedihan sebentar saja. Sedangkan anak yang berumur panjang, bodoh dan durhaka, sepanjang hidupnya memberikan penderitaan”(IV.7).

Demikianlah dapat dinyatakan bahwa ajaran suci Veda dan susastra Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam  hal ini, pada umat Hindu di Bali meyakini, bahwa karakter seorang anak sangat pula ditentukan oleh kedua orang tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang dapat dilihat pada hari kelahirannya yang disebut Daúavara (hari yang sepuluh), yaitu: “pandita, pati, sukha, duhkha, úrì, manuh, mànuûa, ràja, deva, dan rakûaûa” . Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak, dikaitkan pula dengan karakter anak seseuai hari Daúavara-nya tersebut.

Leave a Reply